Bagaimana Perhatian Kita Menjadi Produk yang Diperdagangkan

Awal Mula Perjalanan Perhatian

Bagiku, semuanya dimulai dari sini.

Tebak apa yang pertama kali menarik perhatianku?

Saat pertama kali memiliki HP, game mobile pertama yang aku mainkan adalah Space Impact. Aku masih ingat bagaimana fokusku sepenuhnya tertuju pada tembakan yang harus diarahkan dengan presisi. Setiap kekalahan berarti harus mengulang dari awal, dan aku melakukannya lagi dan lagi. Seolah-olah aku tidak pernah merasa cukup.

Bagaimanapun, aku harus bisa mengalahkan boss di akhir setiap level. Namun, yang tidak aku sadari saat itu adalah bahwa kemajuan teknologi akan mengubah pengalamanku secara drastis.

Era Smartphone dan Perubahan Kebiasaan

Kedatangan smartphone membawa dunia yang jauh lebih nyaman. Kini, pengalaman tidak hanya sebatas bermain game, tetapi juga merambah ke informasi di internet dalam berbagai bentuk—dan semuanya dapat diakses dalam hitungan detik.

Awalnya, semua terasa dalam kendali. Namun, semakin sering aku menggunakannya, aku mulai menyadari bahwa perhatianku semakin terpecah. Dan aku tidak sendirian.

  • Kita tidak lagi bisa menunggu seseorang dengan hanya duduk diam—kita harus mengecek WhatsApp.
  • Kita tidak lagi menikmati waktu luang dengan melakukan aktivitas fisik—kita lebih ingin tahu apa yang sedang trending di Twitter.
  • Kita tidak segera menyantap makanan lezat di atas meja—kita perlu mengambil foto dan mengunggahnya ke Instagram.
  • Kita tidak langsung tidur ketika merasa capek—kita tergoda untuk melanjutkan episode berikutnya dari serial TV.

Pilihan yang kita hadapi setiap hari tampak seperti tidak terbatas. Kelimpahan informasi dan hiburan ini memang memberikan manfaat, tetapi pada kenyataannya, justru membuat kita semakin sulit mengontrol perhatian.

Apa Itu Perhatian?

Perhatian adalah keadaan di mana sumber daya kognitif kita difokuskan pada aspek tertentu dari lingkungan, dibandingkan dengan aspek lainnya. Misalnya, saat kamu menonton video ini dengan penuh konsentrasi, kamu sedang mengabaikan aktivitas lain yang bisa kamu lakukan.

Namun, apakah itu benar-benar terjadi?

Kita hidup di era di mana menyelesaikan satu aktivitas sebelum beralih ke aktivitas lain tidak lagi semudah dulu. Kini, kita terbiasa melakukan multitasking—berpindah fokus secara cepat dari satu tugas ke tugas lainnya.

Jika kamu menganggap ini sepele, mungkin kamu melewatkan sesuatu yang penting.

Bayangkan kamu sedang menonton video dan tiba-tiba berhenti di pertengahan untuk membalas pesan WhatsApp. Saat kembali menonton, otakmu harus bekerja lebih keras untuk merekonstruksi ulang informasi: Apa yang sedang ditonton? Apa yang baru saja dijelaskan?

Jika itu hanya sebuah video, mungkin tidak masalah. Tapi bagaimana jika itu terjadi saat mengerjakan tugas kuliah, skripsi, atau pekerjaan kantor? Kenyataannya, banyak dari kita melakukan ini setiap hari tanpa menyadari dampaknya.

Kapan terakhir kali kamu benar-benar bebas dari gangguan digital?

  • Tidak ada chat.
  • Tidak ada notifikasi media sosial.
  • Tidak ada pencarian berita.

Dua tahun lalu? Lima tahun lalu? Atau bahkan sepuluh tahun lalu?

Yang jelas, kita semakin sulit untuk melepaskan diri dari dunia digital.

Kenapa Kita Kecanduan Teknologi?

Teknologi seharusnya membuat hidup kita lebih mudah. Lalu, mengapa kita justru merasa semakin kecanduan?

  • Mengapa kita sulit berkonsentrasi dalam waktu lama?
  • Mengapa kita tidak lagi nyaman membaca buku?
  • Mengapa kita selalu mencari distraksi, bahkan dalam momen-momen santai?

Sering kali, kita menyalahkan diri sendiri. Ketika sulit fokus, kita melabeli diri sebagai orang malas, tidak disiplin, atau tidak produktif. Tapi apakah ini sepenuhnya salah kita?

Jika ditelusuri lebih dalam, ada sesuatu yang terjadi di balik layar: sebuah sistem yang dirancang untuk mempengaruhi psikologi dan perilaku kita. Inilah yang disebut attention economy.

Eksperimen Skinner dan Perjudian Digital

Untuk memahami bagaimana perhatian kita dimanipulasi, mari kita lihat eksperimen dari seorang psikolog Amerika terkenal, B.F. Skinner.

Dalam eksperimen Skinner Box, merpati ditempatkan dalam kotak dengan tombol yang, jika dipatuk, akan memberikan makanan. Awalnya, merpati mendapatkan makanan setiap kali menekan tombol. Tapi Skinner kemudian mengubah pola pemberian hadiah secara acak.

Hasilnya? Merpati menjadi lebih obsesif. Mereka terus mematuk tombol tanpa bisa berhenti, karena tidak tahu kapan hadiah akan datang.

Fenomena ini diterapkan dalam industri perjudian. Mesin slot tidak pernah memberitahu kapan seseorang akan menang, sehingga penjudi terus bermain, berharap mendapatkan hadiah berikutnya.

Dan yang mengejutkan? Konsep ini kini diterapkan dalam dunia digital.

Attention Economy: Perhatian sebagai Produk

Banyak perusahaan memahami fenomena ini dan menggunakannya dalam model bisnis mereka. Untuk menghasilkan keuntungan besar, mereka hanya perlu memastikan satu hal: mendapatkan perhatian sebanyak mungkin.

Bagaimana caranya?

1. Teknologi Persuasif

Teknologi dirancang untuk mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku pengguna.

  • Infinite Scroll (gulir tanpa batas) membuat kita terus menelusuri konten tanpa sadar.
  • Notifikasi acak memberikan dorongan dopamin, membuat kita terus memeriksa ponsel.
  • Algoritma media sosial dirancang untuk mengenali preferensi kita dan menampilkan konten yang paling membuat kita betah.

2. Efek Hadiah Acak

Ketidakpastian membuat kita semakin terlibat.

  • Kita tidak tahu kapan akan mendapatkan like di Instagram.
  • Kita tidak tahu kapan ada komentar menarik di Twitter.
  • Kita tidak tahu kapan video yang kita tonton akan memberikan informasi mengejutkan.

Akibatnya, kita terjebak dalam loop yang terus menerus, tanpa sadar menghabiskan waktu lebih lama dari yang kita niatkan.

Bagaimana Kita Bisa Mengambil Kembali Kendali?

Mantan pegawai Google, James Williams, menyatakan bahwa jika ingin melatih masyarakat agar lebih impulsif, caranya adalah dengan menciptakan perangkat yang terus memberi hadiah informasional. Oleh karena itu, kita perlu strategi untuk mengambil kembali kendali atas perhatian kita.

1. Tidur yang Berkualitas

CEO Netflix, Reed Hastings, pernah menyatakan bahwa tidur adalah pesaing utama mereka. Perusahaan teknologi memahami bahwa semakin sedikit kita tidur, semakin banyak waktu yang bisa mereka ambil.

Matthew Walker, dalam bukunya Why We Sleep, menemukan bahwa dua pertiga orang dewasa di negara maju gagal mendapatkan tidur cukup. Oleh karena itu, memperbaiki pola tidur adalah langkah pertama untuk mendapatkan kembali fokus kita.

2. Digital Minimalism

Kita tidak harus menghindari teknologi, tapi kita harus menggunakannya dengan bijak.

Konsep digital minimalism menekankan pada penggunaan teknologi hanya untuk hal-hal yang benar-benar bernilai, dan dengan senang hati melewatkan sisanya. Prinsipnya: less is more.

3. Menentukan Prioritas Konsumsi Informasi

Ada tiga alasan utama kita mengonsumsi informasi:

  1. Untuk kebutuhan sehari-hari.
  2. Untuk membangun citra diri.
  3. Untuk hiburan.

Jika informasi yang kita konsumsi hanya menambah kecemasan tanpa manfaat nyata, mungkin saatnya untuk berhenti.

Kesimpulan

Jika kita tidak memahami bagaimana ekonomi perhatian bekerja, kita akan terus menjadi korbannya. Hanya dengan menyadari cara kerja sistem ini, kita bisa menjadikan teknologi sebagai alat yang mendukung kehidupan kita—bukan sebaliknya.

Source: